Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Indonesia (BI) menjelaskan situasi nilai tukar rupiah yang melemah dalam beberapa waktu terakhir terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, terutama berasal dari situasi global.
“Sebagai negara ekonomi terbuka tidak bisa terlepas dari dampak global antara lain. Satu Amerika Serikat yang kami perkirakan September ini masih akan menaikkan fed fund rate,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) dalam konferensi pers, Kamis (24/8/2023)
Kenaikan suku bunga acuan AS diperkirakan terjadi 1-2 kali hingga akhir tahun. Persoalan kedua, kata Perry adalah perekonomian China yang memburuk, berbeda dari perkiraan pada awal tahun ini. Ketiga adalah Jepang yang membawa kebijakan moneter longgar alias dovish.
“Ini mendorong dolar AS kuat bahkan dalam beberapa waktu ini kuat,” paparnya.
Nilai tukar Rupiah pada Agustus 2023 (sampai dengan 23 Agustus 2023) secara point-to-point melemah sebesar 1,41% dibandingkan dengan akhir Juli 2023.
Secara year-to-date, nilai tukar Rupiah menguat 1,78% dari level akhir Desember 2022, lebih baik dibandingkan dengan nilai tukar mata uang berkembang lainnya seperti Rupee India yang mengalami apresiasi sebesar 0,07%, serta Baht Thailand dan Peso Filipina yang masing-masing mengalami depresiasi sebesar 1,31% dan 1,77%.
“Rupiah melemah tapi tidak seperti mata uang lain,” terang Perry.
Menghadapi situasi ini, BI tidak mengambil kebijakan suku bunga. Langkah yang ditempuh adalah dengan intervensi di pasar valas dengan fokus pada transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
BI juga menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen OM (kontraksi) yang pro-market dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang, mendukung upaya menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio.
“Jadi tidak melalui suku bunga,” pungkasnya.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Bos BI Buka-bukaan Soal Ubah Rp1.000 Jadi Rp1: Kami Siap!
(mij/mij)
Quoted From Many Source